News

Konsultasi baru-baru ini mengambil langkah-langkah penting untuk menemukan paradigma berpikir yang berkomitmen tentang masalah “Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan.” Dua puluh dua pemimpin gereja dan teolog berkumpul di Hattersheim am Main, Jerman, 25-27 Februari 2020, untuk membahas masalah ini sehubungan dengan kebangkitan global etno-nasionalisme, xenophobia, intoleransi antaragama, hegemoni patriarki dan rasisme.

“Mengingat munculnya etno-nasionalisme yang menggunakan agama sebagai penanda identitas dan untuk melegitimasi kekerasan, sangat penting bahwa kita sebagai umat beriman dapat mendukung kebebasan beragama dan bekerja menuju dunia di mana semua orang beriman memiliki kebebasan berekspresi, artikulasi, dan penyebaran iman mereka,” kata Philip Vinod Peacock, Executive Secretary for Justice and Witness of the WCRC.

“Pelanggaran hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, terutama atas mereka yang paling rentan, oleh nasionalisme populis dewasa ini, yang secara diam-diam mengkooptasi premis moral perlindungan kebebasan beragama untuk agenda mereka sendiri, menghadirkan salah satu luka moral yang paling menyakitkan dan paradoks di zaman kita, ”kata Peniel Jesudason Rufus Rajkumar, Programme Coordinator for Interreligious Dialogue and Cooperation of the World Council of Churches.

Kontribusi formal untuk konsultasi diperoleh dalam beberapa bentuk dengan ceramah utama oleh Heiner Bielefeldt, Lesmore Yehezkiel dan Heidi Hadsel; PA oleh Mitri Raheb, Septemmy Lakawa dan Dianna Wright; dan perspektif regional dari Peggy Kabonde, Joas Adiprasetya, Farhana Nazir, Junaid Ahmed, Eve Parker, Odor Balazs, HyeRan Kim-Cragg, Anna Case Winters dan Abraham Mathew.

Dalam sebuah Pernyataan penutup, konsultasi “mengakui bahwa iklim global saat ini membutuhkan kerja sama antaragama dan pengembangan aliansi yang berkomitmen pada dunia yang didasarkan pada keadilan dan kebebasan” dan bahwa “pertanyaan tentang kebebasan beragama harus ditempatkan dalam persoalan keadilan.”

“Sebagai seorang intelektual publik Muslim yang berkomitmen untuk dialog antaragama untuk perdamaian dan keadilan, tidak ada forum yang saya temukan lebih ramah dan mendukung karya antaragama yang kita lakukan selain pertemuan ini,” kata Junaid Ahmad, professor of Religion and World Politics at the National Defence University (Pakistan).

“Mendengarkan dan bergaul dengan para teolog Kristen, aktivis dan pemimpin-pemikir adalah pengalaman yang luar biasa justru karena kemungkinan yang ditawarkannya di dunia yang semakin terkoyak oleh ideologi — ‘fundamentalisme’ dari variasi agama dan sekuler — yang berupaya memajukan bentuk otoritarianisme, xenophobia, dan rasisme yang paling berbahaya, termasuk yang paling mengkhawatirkan di zaman kita, yakni Islamophobia,” kata Ahmad.

Memperhatikan pernyataan Johanes Calvin bahwa “semua manusia memiliki martabat melekat dalam dirinya, yang diberikan Tuhan, yang berarti hak-hak kami berakar pada Tuhan,” konsultasi itu menyatakan, “Karena itu kami tidak dapat berbicara tentang kebebasan beragama tanpa berbicara tentang keadilan dan martabat semua manusia.”

Pernyataan itu selanjutnya mengecam keras segala bentuk diskriminasi agama, penindasan dan penganiayaan. “Kita dipanggil untuk menerima teologi risiko yang berani dan keramahtamahan yang radikal dan berbalasan. Untuk ini, kita dapat melihat contoh-contoh kerja sama dan dukungan keagamaan bahkan di tengah-tengah kekerasan agama. Kami menyadari bahwa hanya komunitas imajinasi antaragama yang dapat menantang gagasan-gagasan nasionalis tentang religiositas yang tidak toleran yang menyangkal martabat dan kebebasan beragama dari mereka yang tidak berdaya. Kami menyerukan teologi perlawanan, pemulihan dan rekonsiliasi yang aktif. ”

“Relevansi dan ketepatan waktu pertemuan ini bertumpu pada visinya untuk menghadapi penyimpangan yang kejam dengan mengeksplorasi model keterlibatan yang setia dan pada saat yang sama kritis terhadap yang dominan, berkomitmen pada yang lemah dan dalam persaudaraan yang bergairah’ (comradely and passionate) dalam pendekatannya,” kata Rajkumar.

Konsultasi ini diselenggarakan bersama oleh the World Communion of Reformed Churches and World Council of Churches dan dimungkinkan melalui pembiayaan oleh Otto per Mille.