Dalam dunia yang terpecah belah oleh perang, pengungsian dan keputusasaan, tindakan gereja yang paling menantang mungkin bukan dengan kata-kata – tetapi dengan lagu.
Pesan yang kuat tersebut bergema dalam ibadah peringatan 150 tahun World Communion of Reformed Churches (WCRC) pada tanggal 12 Juli lalu di American International Church, London. Acara ini diselenggarakan oleh United Reformed Church (URC)– salah satu dari 232 gereja anggota WCRC dan salah satu badan pendiri organisasi ini. Pdt. Kathy Smith dan Maria Cornou, yang mewakili Calvin Institute of Christian Worship (CICW), memainkan peran penting dalam perencanaan liturgi, yang menunjukkan dukungan kuat dari institut tersebut untuk perayaan ini.
Pdt. Najla Kassab, Presiden WCRC, menyampaikan sebuah khotbah yang menawarkan sebuah visi yang menggugah tentang imajinasi moral. Alih-alih memulai dengan teologi, ia membagikan kisah seorang pengacara yang terbebani oleh kompromi-kompromi etis yang mengakui bahwa bukan khotbah melainkan musik yang menariknya ke gereja.
“Terkadang,” katanya, “musik adalah pembeda antara hidup dan mati.”
Menggambar pemandangan kehancuran global – dari reruntuhan Katedral Notre Dame yang terbakar hingga lantai berlumuran darah di gereja Suriah – Kassab merefleksikan saat-saat ketika kata-kata gagal tetapi nyanyian tetap bertahan. Baginya, bernyanyi adalah tindakan perlawanan, pengingat, dan pembaharuan.
Ia mengenang masa kecilnya di Beirut yang dilanda perang, di mana ia dan keluarganya berlindung di bawah tanah di tengah-tengah bom: “Ketika kata-kata tidak membantu, Anda bernyanyi. Bernyanyi bukanlah sebuah pelarian. Di situlah Tuhan bertemu dengan kita – dan mengingatkan kita bahwa kita tidak sendirian.”
Berakar dari Mazmur 96, khotbah Kassab mengajak gereja untuk “menyanyikan lagu baru,” tidak hanya dalam melodi tetapi juga dalam misi-untuk memusatkan ibadah pada keadilan, membina komunitas yang inklusif, dan membawa kesaksian Injil di luar tembok-tembok tempat kudus.
Sebuah Harapan yang Menantang

“Hope,” a Painting by George Watts
Kassab menutup khotbahnya dengan sebuah gambar kuat yang terinspirasi dari lukisan George Watts, Hope– seorang wanita dengan mata tertutup yang duduk di atas bola dunia, memegang alat musik yang rusak dengan hanya satu senar yang masih utuh.
“Satu senar itu masih dapat memainkan sebuah nada,” katanya. “Ini bukan optimisme, ini adalah harapan. Keras kepala, disonan, dinyanyikan dengan kunci minor – mungkin – tetapi tetap dinyanyikan.”
Menjelang Sidang Raya WCRC pada bulan Oktober mendatang di Chiang Mai, Thailand, Kassab mengajak gereja untuk bertekun: “Kita mungkin adalah dawai terakhir – tetapi kita tidak akan berdiam diri.”
Satu Persekutuan, Satu Lagu
Pdt. Dr. Setri Nyomi, Sekretaris Umum WCRC, menelusuri silsilah organisasi ini sejak Reformasi abad ke-16 hingga pendirian resminya di London pada tahun 1875, ketika 21 gereja Presbiterian berkumpul untuk membentuk Persekutuan Gereja-gereja Reformasi.
Ia menceritakan evolusi dari aliansi ini: bergabung dengan Kongregasi dan badan-badan Reformed lainnya untuk membentuk World Alliance of Reformed Churches (WARC) pada tahun 1970, kemudian bersatu dengan Reformed Ecumenical Council (REC) pada tahun 2010 untuk membentuk WCRC yang sekarang.
Nyomi juga membacakan Konfesi Belhar yang menekankan keadilan, persatuan dan rekonsiliasi sebagai komitmen teologis utama bagi masa depan persekutuan ini.
Salam dari Seluruh Dunia
Para pemimpin dari seluruh tradisi Reformed menyampaikan salam.
Karen Campbell, atas nama United Reformed Church, merefleksikan kekuatan dari menjadi bagian dari sebuah keluarga global yang beragam namun tetap bersatu:
“Ketika kita merasa kesepian, kita dapat melihat bahwa kita memiliki saudara-saudara di seluruh benua dan budaya… kita saling memiliki satu sama lain.”
Pdt. William McLaren, yang mewakili Gereja Skotlandia, menyebut WCRC sebagai “keluarga yang dekat di hati kami,” mengingat peran pendirian denominasinya pada tahun 1875 dan merayakan jangkauan tradisi Reformed di seluruh dunia.
Jooseop Keum, dari Dewan Misi Dunia, mencatat adanya kesamaan hari ulang tahun antara WCRC dan organisasinya – 18 Juli – dan memuji komitmen keduanya terhadap perdamaian, keadilan dan kesaksian kenabian:
“Ini bukan hanya sebuah tonggak sejarah,” kata Keum. “Ini adalah kisah yang sedang berlangsung dari sebuah persekutuan yang lahir dari keyakinan.”
Penyembahan Global, Suara Lokal
Kebaktian tersebut menampilkan keragaman yang kaya dari persekutuan ini:
- Paduan Suara URC Upper Clapton menyuguhkan musik paduan suara.
- Karen Campbell membacakan puisinya, “Sebuah Meja untuk Semua.”
- Philip Vinod Peacock, Sekretaris Eksekutif WCRC untuk Keadilan dan Kesaksian, memimpin pujian dalam ibadah tersebut.
- Muna Nassar, Sekretaris Eksekutif bidang Misi dan Advokasi, memimpin doa syukur.
- Pembacaan Alkitab dibawakan dalam bahasa Bengali dan Inggris oleh Pdt. Margaret Ninaljana Ali, seorang pendeta URC.
- Dr. Hefin Jones dari Union of Welsh Independen memimpin doa syafaat dalam bahasa Wales.
- Musik disediakan oleh organis Ben Comeau.
Di dunia yang sering ditandai dengan perpecahan dan kesulitan, perayaan ulang tahun ke-150 World Communion of Reformed Churches menjadi sebuah pengingat yang kuat bahwa pengharapan dapat bertahan melalui persatuan dan iman yang diekspresikan tidak hanya dalam kata-kata tetapi juga dalam lagu. Ketika suara-suara dari seluruh dunia diangkat dalam penyembahan, kesaksian, dan doa, acara ini menggemakan sebuah kebenaran yang mendalam: bahkan ketika keadaan mengancam untuk membungkam kita, semangat gereja – “dawai terakhir” dalam lukisan George Watts, “Hope” – terus memainkan nada yang tangguh dan menantang. Perayaan ini bukan hanya menjadi momen untuk menghormati warisan yang kaya, namun juga panggilan untuk meneruskan warisan keadilan, inklusivitas, dan kesaksian yang teguh ketika WCRC menatap masa depan dengan penuh keberanian dan keyakinan.
Saksikan siaran langsung kebaktian lengkap dari American International Church di London berikut ini:
(Terjemahan didukung oleh DeepL)